Dari postingan saya sebelumnya, saya sudah membahas tentang kesenian Tari Topengan Malangan yang berasal dari Malang. Kali ini saya akan membahas tentang para pengrajin topeng malangan tersebut. Setelah berwisata alam dan rekreasi di Kabupaten Malang, tidak lengkap kalau tidak membawa kerajinan tangan.
Banyak sekali produk - produk kerajinan yang memperkaya khasanah budaya di Indonesia. Di Malang, ada salah satu kerajinan yang sangat langka dan merupakan salah satu kebudayaan Khas Malang, yaitu Topeng Malang. Topeng Malang merupakan sejarah dari pementasan Wayang Gedog yang mana setiap karakter-karakternya selalu menggunakan topeng. Ada banyak jenis warna dan ragam hias dari Topeng Malang yang menggambarkan masing-masing karakter dalam pementasan. Bahan dasar Topeng Malang adalah berbagai jenis kayu seperti kayu Kembang, Waru, Mahoni dan Sengon. Beberapa karakter topeng dibuat dari kayu yang mana sebelum ditebang harus dilakukan ritual khusus terlebih dahulu. Topeng Malang sekarang banyak dibuat oleh pengerajin-pengerajin di desa Jabung kabupaten Malang, Jawa Timur.
Adalah Almarhum Mbah Karimoen yang memulai kerajinan ini sejak berpuluh - puluh tahun yang lalu. Kini, setelah Mbah Karimoen tiada, usaha Kerajinan Topeng Malang ini diteruskan oleh cucunya, yaitu Mas Handoyo. Sesuai dengan cita - cita Mbah Karimoen, Mas Handoyo ingin melestarikan khasanah budaya di Indonesia khususnya di Malang Raya melalui Kerajinan Topeng Malang ini.
Usaha Kerajinan yang berlokasi di Jl. Prajurit Slamet Dukuh Kedungmonggo Ds. Karangduren Kecamatan Pakisaji ini dikelola oleh Mas Handoyo bersama 5 orang pegawainya yang juga sesama pengrajin topeng. Dikisahkan oleh Mas Handoyo bahwa Mbah Karimoen Memperoleh ilmu membuat topeng secara otodidak sewaktu dia berumur 14 tahun.
Topeng khas Malang ini dibuat dari kayu yang telah disimpan selama kurang lebih 5 bulan. Kayu-kayu itu kemudian dipotong-potong dengan ukuran lebar 16 cm dan panjang 21 cm. Di potongan kayu itu kemudian dibuat gambar wajah berbagai tokoh pewayangan seperti Panji Asmoro Bangun, Sekar Tadji, dan lain- lain. Setelah itu diukir sesuai pola dengan alat ukir patu, pecok, dan tatah.
Kendala yang kini dihadapi oleh Mas Handoyo saat ini ada keterbatasan bahan baku Kayu. Mas Handoyo hanya mengandalkan para pemborong - pemborong kayu yang sudah ia kenal. Mas Handoyo berharap usahanya dalam rangka melestarikan budaya asli Malang ini bisa terus eksis. Memang bila dilihat sepintas lalu, usaha kerajinan ini terlihat turun temurun. Namun tidak ada salahnya bila kita para generasi muda mau belajar membuat atau paling tidak mempelajari sejarah budaya Indonesia khususnya di Malang melalui Topeng Malang. Tentu kita tidak ingin jika nanti ada negara lain yang berusaha mengklaim budaya kita lagi bukan?
Sementara itu, pengrajin topengan malangan berikutnya, Hariati. Jemari lentik Hariati, cucu Mbah Karimun tampak luwes mengayun kuas di atas topeng kayu berkarakter Patih Gajah Meto. Sedangkan di sudut lainnya, Raimun tengah memahat kayu sengon untuk menyempurnakan karakter topeng Malangan. Mereka adalah pengrajin topeng malangan Padepokan Asmoro Bangun Dukuh Kedung Monggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang.
Eksistensi topeng Kedungmonggo berlangsung turun temurun sejak akhir abad 18, sekitar tahun 1897. Ketika itu, alm. Mbah Serun (kakek Mbah Mun) berguru kepada Gurawan asal Bangelan. Ilmu Serun itu kemudian diturunkan kepada Karimun kemudian diwariskan kepada Taslan anak pertamanya hingga kepada Tri Handoyo dan Raimun.
Topeng Malangan identik dengan cerita Panji (tokoh utamanya Panji Asmara Bangun) merupakan seni tradisi khas Malang masih lestari. Di Malang Raya, Padepokan Asmoro Bangun adalah salah satu kelompok yang tetap melestarikan seni tradisi tersebut. Padepokan itu dulu eksis dibawah pimpinan Maestro Topeng Malang Alm. Mbah Mun.
Selain itu awal 2009 masih ada pembuat topeng yang eksis di kawasan Malang Timur selain Jabung, yakni di Tumpang. Namun Soetrisno Empu Topeng Malangan Pulung Dowo sudah lebih dulu tutup usia pada 2 Desember 2008 pada usia 68 tahun. Dia adalah maestro topeng dari Dusun Glagahdowo Desa Pulungdowo Kecamatan Tumpang.
Soetrisno adalah empu topeng rekan seangkatan Rasimoen, seniman Topeng Malangan yang telah tutup usia lebih dahulu. Bersama Gimun dan Jakimin, mereka tak lain murid dari Mbah Item di Padepokan Sri Margo Utomo. Dari tiga tokoh Sri Margo Utomo lainnya, Soetrisno lebih dikenal sebagai penyungging (pembuat benda seni topeng teknik pahat) Topeng Malangan.
Suami dari seniman tari Sumianah (55 tahun) itu selain penyungging topeng malang juga pemain ludruk dan penari Jangger. Bahkan, Soetrisno muda terkenal sebagai pemimpin perguruan pencak silat di Tumpang. Jiwa seninya diturunkan kepada anaknya Eko Hadi Wijaya, Dwi Wahyui Asmarani dan Tri Ganjar Wicaksono. Anak paling bungsu, Tri Ganjar Wicaksono tak lain salah satu pendiri Wayang Beber Kota di Solo.
“Bapak mulai berhenti menyungging sejak separoh anggota badannya lumpuh karena stroke, enam tahun lalu. Namun beliau masih rajin mengawasi dan mengajar pembuatan topeng malangan,” ujar Eko Hadi Wijaya kepada wartawan mingguan Kota Wisata ini.
Eko yang juga seniman pembuat Topeng itu mengatakan, bapaknya juga seangkatan dengan Maestro topeng Malang Mbah Karimun asal Kedungmonggo. Hanya saja, meski sama-sama Master topeng malangan, karakter kedua tokoh itu berbeda. Kata Eko, bapaknya dikenal memiliki karya dengan pattern (pola) detil.
“Perbedaan itu adalah kearifan budaya mas. Yang jelas seperti seniman topeng malangan lainnya, bapak masih menjaga nilai estetika di dalam pembuatan topeng. Bahwa topeng juga mengandung falsafah hidup yang bisa menjadi pedoman umat manusia” jelasnya.
Sama seperti yang dialami Handoyo, Eko juga mendapat pesan dari Soetrisno agar dia membesarkan komunitas Topeng Malangan. Kata Eko, sang bapak juga mewariskan ilmu seni tradisi kepada dua adiknya. “Bapak saya dulu aktif mengajar seni tradisi ini melalui dunia teater. Bahkan National Geographic Center dari Munich sempat bertandang ke sini (rumahnya),” akunya.
Rata-rata pengerajin topeng merupakan penduduk asli setempat,bertani merupakan sumber mata pencarian pokok mereka.Budaya seni pahat sangat kental dalam keseharian mereka, sebagai pelengkap seringkali disajikan pula seni tari yang sering kali digunakan sebagai acara ritual adat setempat dan pertunjukan seni hiburan sebagai bentuk pelestarian budaya nenek moyang.selain bisa melestarikan budaya nenek moyang juga dapat sebagai tambahan mata pencarian penduduk setempat. Untuk tehnis penyelesaian topeng tergantung dari tingkat kerumitan dan bahan kayu yang diminta atau dipesan,rata-rata menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam per topeng. selain orang dewasa saat ini sudah ada regenerasi untuk remaja baik dari seni pahat maupun seni tarinya. Untuk pertunjukan seni tari topeng sering digelar di sekitar kabupaten Malang Jatim Indonesia,tidak menutup kemungkinan juga digelar di area Kotamadya Malang Jatim ,kota-kota besar di Indonesia. Untuk pengembangan seni tari topeng juga mendapat perhatian dari Pemerintah daerah Kabupaten dan Kodya Malang Jatim Indonesia. Hanya perlu ditingkatkan lagi untuk lebih giatnya suport promosi dan permodalan daripihak pemerintah khususnya Dinas pariwisata dan budaya agar pelestarian budaya seperti Tari topeng tidak punah. Lebih membanggakan lagi Topeng malang sudah dikenal hingga di Manca negara
Namun kini aset budaya tradisional Malang Raya berupa topeng malangan terancam musnah tergerus zaman. Pasalnya, topeng yang juga menjadi ikon Malang Raya itu kini tak lagi dikenal warga.
“Ironisnya, ini terjadi justru saat banyak pecinta seni dari berbagai negara berusaha mendalami sekaligus melestarikannya,” kata pengamat seni topeng malangan,Dwi Cahyono, kemarin. Sekarang ini, kata Dwi, pemahat topeng malangan sudah berkurang banyak. Sedangkan muda hanya segelintir yang tertarik melestarikannya. Bila hal terus ini berlanjut, Dwi khawatir topeng tersebut nanti justru menjadi milik negara lain.
Untuk melestarikan kekayaan budaya tersebut, Dwi terus berupa mengoleksinya, terutama topeng yang bisa ‘bercerita’ tentang sejarah seperti legenda Panji Asmorobangun karya maestro topeng malangan, Mbah Karimun. Ia saat ini memiliki 62 topeng malangan yang dipajang tepat di pintu masuk resto tradisional miliknya dan topeng malangan itu mengisahkan cerita Panji Asmorobangun dengan tokoh Dewi Sekartaji, Dewi Kilisuci, Bapang dan Panji Asmorobangun sendiri.
Menurut dia, masyarakat Malang sendiri tidak banyak yang tahu atau paham dengan cerita Panji Asmorobangun, padahal cerita ini sudah dikenal hingga Jerman bahkan ada pengamat dari Vietnam, Linda Keifin, yang sangat paham cerita panji secara detail.
Untuk melestarikan topeng malangan agar tidak sampai punah, katanya, dirinya bersama pecinta seni lainnya bakal menggelar workshop dua minggu sekali tentang bagaimana cara membuat topeng malangan. “Semua pengunjung termasuk wisatawan asing bebas melihat dan belajar bagaimana cara membuat topeng malangan yang dipandu oleh para pemahat khusus secara bergantian,” katanya.
Sementara salah seorang perajin tradisional topeng malangan yang berlokasi di Desa Kedungmonggo Kecamatan PakisajiKabupaten Malang, Jumadi, mengaku, para perajin topeng malangan tersebut masih minim perhatian terutama dari pemerintah setempat baik dalam bentuk permodalan maupun promosi.
Untuk mengembangkan dan tetap melestarikan salah satu ‘aset’ daerah yang masih dikerjakan secara tradisional tersebut, katanya, banyak mengalami kendala apalagi jika tidak ada campur tangan dari pemerintah. “Semakin hari kondisi pengrajin topeng malangan ini semakin terpuruk, berbeda dengan beberapa tahun silam yang masih ada perhatian dari PT Rajawali bahkan sampai dibangunkan padepokan,” katanya.
Menurut dia, prosentase penjualan topeng malangan saat ini juga jauh menurun dibanding beberapa tahun silam, sebab untuk mengadakan even-even juga tidak semudah sebelumnya. Saat ini, katanya, pihak hotel atau tempat-tempat pameran lainnya, manajemennya sudah berubah, kalau dulu memakai sistem bagi hasil, tetapi sekarang menggunakan sistem sewa, padahal topeng-topeng yang dipamerkan belum tentu terjual.
Ia juga mengakui, para pengrajin topeng malangan saat ini juga sudah berubah haluan, kalau sebelumnya masih merupakan “pekerjaan” sampingan, tetapi sekarang menjadi mata pencaharian dan celakanya omzet penjualan tidak seramai beberapa tahun silam bahkan beberapa hotel yang rajin memesan souvenir juga berkurang jauh.
“Yang kami butuhkan saat ini pemerintah bisa membantu dalam penyelenggaraan even pameran yang dipadu dengan ‘demo’ proses pembuatan topeng, sehingga masyarakat mengenal budaya khasnya,” tegasnya. Sebab, kata Jumadi, dari tahun ke tahun budaya khas ini semakin ditinggalkan dan kalau ada pihak asing yang melestarikan dan mengklaim hak patennya, pemerintah baru ‘kelabakan’.
Proses pembuatan topeng malangan antara 5 hari sampai 3 minggu, tergantung karakter topeng yang akan dibuat. Topeng-topeng khas tersebut seharga Rp100 ribu sampai Rp1 juta, khusus soevenir gantungan kunci dan topeng berukuran mini seharga Rp5000 sampai Rp30 ribu perbuah.
sumber : kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com
pengrajin topeng
Banyak sekali produk - produk kerajinan yang memperkaya khasanah budaya di Indonesia. Di Malang, ada salah satu kerajinan yang sangat langka dan merupakan salah satu kebudayaan Khas Malang, yaitu Topeng Malang. Topeng Malang merupakan sejarah dari pementasan Wayang Gedog yang mana setiap karakter-karakternya selalu menggunakan topeng. Ada banyak jenis warna dan ragam hias dari Topeng Malang yang menggambarkan masing-masing karakter dalam pementasan. Bahan dasar Topeng Malang adalah berbagai jenis kayu seperti kayu Kembang, Waru, Mahoni dan Sengon. Beberapa karakter topeng dibuat dari kayu yang mana sebelum ditebang harus dilakukan ritual khusus terlebih dahulu. Topeng Malang sekarang banyak dibuat oleh pengerajin-pengerajin di desa Jabung kabupaten Malang, Jawa Timur.
Adalah Almarhum Mbah Karimoen yang memulai kerajinan ini sejak berpuluh - puluh tahun yang lalu. Kini, setelah Mbah Karimoen tiada, usaha Kerajinan Topeng Malang ini diteruskan oleh cucunya, yaitu Mas Handoyo. Sesuai dengan cita - cita Mbah Karimoen, Mas Handoyo ingin melestarikan khasanah budaya di Indonesia khususnya di Malang Raya melalui Kerajinan Topeng Malang ini.
Usaha Kerajinan yang berlokasi di Jl. Prajurit Slamet Dukuh Kedungmonggo Ds. Karangduren Kecamatan Pakisaji ini dikelola oleh Mas Handoyo bersama 5 orang pegawainya yang juga sesama pengrajin topeng. Dikisahkan oleh Mas Handoyo bahwa Mbah Karimoen Memperoleh ilmu membuat topeng secara otodidak sewaktu dia berumur 14 tahun.
Topeng khas Malang ini dibuat dari kayu yang telah disimpan selama kurang lebih 5 bulan. Kayu-kayu itu kemudian dipotong-potong dengan ukuran lebar 16 cm dan panjang 21 cm. Di potongan kayu itu kemudian dibuat gambar wajah berbagai tokoh pewayangan seperti Panji Asmoro Bangun, Sekar Tadji, dan lain- lain. Setelah itu diukir sesuai pola dengan alat ukir patu, pecok, dan tatah.
Kendala yang kini dihadapi oleh Mas Handoyo saat ini ada keterbatasan bahan baku Kayu. Mas Handoyo hanya mengandalkan para pemborong - pemborong kayu yang sudah ia kenal. Mas Handoyo berharap usahanya dalam rangka melestarikan budaya asli Malang ini bisa terus eksis. Memang bila dilihat sepintas lalu, usaha kerajinan ini terlihat turun temurun. Namun tidak ada salahnya bila kita para generasi muda mau belajar membuat atau paling tidak mempelajari sejarah budaya Indonesia khususnya di Malang melalui Topeng Malang. Tentu kita tidak ingin jika nanti ada negara lain yang berusaha mengklaim budaya kita lagi bukan?
Sementara itu, pengrajin topengan malangan berikutnya, Hariati. Jemari lentik Hariati, cucu Mbah Karimun tampak luwes mengayun kuas di atas topeng kayu berkarakter Patih Gajah Meto. Sedangkan di sudut lainnya, Raimun tengah memahat kayu sengon untuk menyempurnakan karakter topeng Malangan. Mereka adalah pengrajin topeng malangan Padepokan Asmoro Bangun Dukuh Kedung Monggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang.
Eksistensi topeng Kedungmonggo berlangsung turun temurun sejak akhir abad 18, sekitar tahun 1897. Ketika itu, alm. Mbah Serun (kakek Mbah Mun) berguru kepada Gurawan asal Bangelan. Ilmu Serun itu kemudian diturunkan kepada Karimun kemudian diwariskan kepada Taslan anak pertamanya hingga kepada Tri Handoyo dan Raimun.
Topeng Malangan identik dengan cerita Panji (tokoh utamanya Panji Asmara Bangun) merupakan seni tradisi khas Malang masih lestari. Di Malang Raya, Padepokan Asmoro Bangun adalah salah satu kelompok yang tetap melestarikan seni tradisi tersebut. Padepokan itu dulu eksis dibawah pimpinan Maestro Topeng Malang Alm. Mbah Mun.
Selain itu awal 2009 masih ada pembuat topeng yang eksis di kawasan Malang Timur selain Jabung, yakni di Tumpang. Namun Soetrisno Empu Topeng Malangan Pulung Dowo sudah lebih dulu tutup usia pada 2 Desember 2008 pada usia 68 tahun. Dia adalah maestro topeng dari Dusun Glagahdowo Desa Pulungdowo Kecamatan Tumpang.
Soetrisno adalah empu topeng rekan seangkatan Rasimoen, seniman Topeng Malangan yang telah tutup usia lebih dahulu. Bersama Gimun dan Jakimin, mereka tak lain murid dari Mbah Item di Padepokan Sri Margo Utomo. Dari tiga tokoh Sri Margo Utomo lainnya, Soetrisno lebih dikenal sebagai penyungging (pembuat benda seni topeng teknik pahat) Topeng Malangan.
Suami dari seniman tari Sumianah (55 tahun) itu selain penyungging topeng malang juga pemain ludruk dan penari Jangger. Bahkan, Soetrisno muda terkenal sebagai pemimpin perguruan pencak silat di Tumpang. Jiwa seninya diturunkan kepada anaknya Eko Hadi Wijaya, Dwi Wahyui Asmarani dan Tri Ganjar Wicaksono. Anak paling bungsu, Tri Ganjar Wicaksono tak lain salah satu pendiri Wayang Beber Kota di Solo.
“Bapak mulai berhenti menyungging sejak separoh anggota badannya lumpuh karena stroke, enam tahun lalu. Namun beliau masih rajin mengawasi dan mengajar pembuatan topeng malangan,” ujar Eko Hadi Wijaya kepada wartawan mingguan Kota Wisata ini.
Eko yang juga seniman pembuat Topeng itu mengatakan, bapaknya juga seangkatan dengan Maestro topeng Malang Mbah Karimun asal Kedungmonggo. Hanya saja, meski sama-sama Master topeng malangan, karakter kedua tokoh itu berbeda. Kata Eko, bapaknya dikenal memiliki karya dengan pattern (pola) detil.
“Perbedaan itu adalah kearifan budaya mas. Yang jelas seperti seniman topeng malangan lainnya, bapak masih menjaga nilai estetika di dalam pembuatan topeng. Bahwa topeng juga mengandung falsafah hidup yang bisa menjadi pedoman umat manusia” jelasnya.
Sama seperti yang dialami Handoyo, Eko juga mendapat pesan dari Soetrisno agar dia membesarkan komunitas Topeng Malangan. Kata Eko, sang bapak juga mewariskan ilmu seni tradisi kepada dua adiknya. “Bapak saya dulu aktif mengajar seni tradisi ini melalui dunia teater. Bahkan National Geographic Center dari Munich sempat bertandang ke sini (rumahnya),” akunya.
Rata-rata pengerajin topeng merupakan penduduk asli setempat,bertani merupakan sumber mata pencarian pokok mereka.Budaya seni pahat sangat kental dalam keseharian mereka, sebagai pelengkap seringkali disajikan pula seni tari yang sering kali digunakan sebagai acara ritual adat setempat dan pertunjukan seni hiburan sebagai bentuk pelestarian budaya nenek moyang.selain bisa melestarikan budaya nenek moyang juga dapat sebagai tambahan mata pencarian penduduk setempat. Untuk tehnis penyelesaian topeng tergantung dari tingkat kerumitan dan bahan kayu yang diminta atau dipesan,rata-rata menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam per topeng. selain orang dewasa saat ini sudah ada regenerasi untuk remaja baik dari seni pahat maupun seni tarinya. Untuk pertunjukan seni tari topeng sering digelar di sekitar kabupaten Malang Jatim Indonesia,tidak menutup kemungkinan juga digelar di area Kotamadya Malang Jatim ,kota-kota besar di Indonesia. Untuk pengembangan seni tari topeng juga mendapat perhatian dari Pemerintah daerah Kabupaten dan Kodya Malang Jatim Indonesia. Hanya perlu ditingkatkan lagi untuk lebih giatnya suport promosi dan permodalan daripihak pemerintah khususnya Dinas pariwisata dan budaya agar pelestarian budaya seperti Tari topeng tidak punah. Lebih membanggakan lagi Topeng malang sudah dikenal hingga di Manca negara
Namun kini aset budaya tradisional Malang Raya berupa topeng malangan terancam musnah tergerus zaman. Pasalnya, topeng yang juga menjadi ikon Malang Raya itu kini tak lagi dikenal warga.
“Ironisnya, ini terjadi justru saat banyak pecinta seni dari berbagai negara berusaha mendalami sekaligus melestarikannya,” kata pengamat seni topeng malangan,Dwi Cahyono, kemarin. Sekarang ini, kata Dwi, pemahat topeng malangan sudah berkurang banyak. Sedangkan muda hanya segelintir yang tertarik melestarikannya. Bila hal terus ini berlanjut, Dwi khawatir topeng tersebut nanti justru menjadi milik negara lain.
Untuk melestarikan kekayaan budaya tersebut, Dwi terus berupa mengoleksinya, terutama topeng yang bisa ‘bercerita’ tentang sejarah seperti legenda Panji Asmorobangun karya maestro topeng malangan, Mbah Karimun. Ia saat ini memiliki 62 topeng malangan yang dipajang tepat di pintu masuk resto tradisional miliknya dan topeng malangan itu mengisahkan cerita Panji Asmorobangun dengan tokoh Dewi Sekartaji, Dewi Kilisuci, Bapang dan Panji Asmorobangun sendiri.
Menurut dia, masyarakat Malang sendiri tidak banyak yang tahu atau paham dengan cerita Panji Asmorobangun, padahal cerita ini sudah dikenal hingga Jerman bahkan ada pengamat dari Vietnam, Linda Keifin, yang sangat paham cerita panji secara detail.
Untuk melestarikan topeng malangan agar tidak sampai punah, katanya, dirinya bersama pecinta seni lainnya bakal menggelar workshop dua minggu sekali tentang bagaimana cara membuat topeng malangan. “Semua pengunjung termasuk wisatawan asing bebas melihat dan belajar bagaimana cara membuat topeng malangan yang dipandu oleh para pemahat khusus secara bergantian,” katanya.
Sementara salah seorang perajin tradisional topeng malangan yang berlokasi di Desa Kedungmonggo Kecamatan PakisajiKabupaten Malang, Jumadi, mengaku, para perajin topeng malangan tersebut masih minim perhatian terutama dari pemerintah setempat baik dalam bentuk permodalan maupun promosi.
Untuk mengembangkan dan tetap melestarikan salah satu ‘aset’ daerah yang masih dikerjakan secara tradisional tersebut, katanya, banyak mengalami kendala apalagi jika tidak ada campur tangan dari pemerintah. “Semakin hari kondisi pengrajin topeng malangan ini semakin terpuruk, berbeda dengan beberapa tahun silam yang masih ada perhatian dari PT Rajawali bahkan sampai dibangunkan padepokan,” katanya.
Menurut dia, prosentase penjualan topeng malangan saat ini juga jauh menurun dibanding beberapa tahun silam, sebab untuk mengadakan even-even juga tidak semudah sebelumnya. Saat ini, katanya, pihak hotel atau tempat-tempat pameran lainnya, manajemennya sudah berubah, kalau dulu memakai sistem bagi hasil, tetapi sekarang menggunakan sistem sewa, padahal topeng-topeng yang dipamerkan belum tentu terjual.
Ia juga mengakui, para pengrajin topeng malangan saat ini juga sudah berubah haluan, kalau sebelumnya masih merupakan “pekerjaan” sampingan, tetapi sekarang menjadi mata pencaharian dan celakanya omzet penjualan tidak seramai beberapa tahun silam bahkan beberapa hotel yang rajin memesan souvenir juga berkurang jauh.
“Yang kami butuhkan saat ini pemerintah bisa membantu dalam penyelenggaraan even pameran yang dipadu dengan ‘demo’ proses pembuatan topeng, sehingga masyarakat mengenal budaya khasnya,” tegasnya. Sebab, kata Jumadi, dari tahun ke tahun budaya khas ini semakin ditinggalkan dan kalau ada pihak asing yang melestarikan dan mengklaim hak patennya, pemerintah baru ‘kelabakan’.
Proses pembuatan topeng malangan antara 5 hari sampai 3 minggu, tergantung karakter topeng yang akan dibuat. Topeng-topeng khas tersebut seharga Rp100 ribu sampai Rp1 juta, khusus soevenir gantungan kunci dan topeng berukuran mini seharga Rp5000 sampai Rp30 ribu perbuah.
sumber : kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com
pengrajin topeng